Pernyataan senada sering saya amati dari sekolah-sekolah yang menyandang status ‘unggulan’. Intinya dalam satu kelas jumlah siswanya lebih sedikit daripada sekolah-sekolah lain pada umumnya. Kondisi tersebut merupakan nilai jual tersendiri bagi sekolah sebagai penyelenggara pendidikan kepada para orang tua siswa karena berarti proses belajar mengajar akan lebih komprehensif.
Bandingkan ketika satu kelas berisi 20–30 orang siswa. Sudah tentu pihak pengajar pada umumnya akan kesulitan meng-observasi satu per satu peserta didik saat sesi mengajar berlangsung.
Teacher student Interaction plays a vital role in any classroom environment (Mohamed Sathik & Sofia 2011). The impact due to communication of the face is so powerful in interaction. Faces are rich in information about individual identity, and also about mood and mental state, being accessible windows into the mechanisms governing our emotions. Studies reveal that the most expressive way humans display emotions is through facial expressions. Facial expressions are the primary source of information, next to words, in determining an individual’s internal feelings. — Mohamed Sathik and Sofia G Jonathan
Bagi setiap individu yang pernah mendapat pengalaman mengajar baik disekolahan ataupun tempat kursus pasti memahami pentingnya membaca ekspresi peserta didik yang menjadi audiens didalam kelas. Melihat ekspresi wajah mereka, menatap mata mereka untuk membaca apa yang tersimpan dibalik benak ketika disampaikan suatu materi. Apakah mereka paham atau tidak? Apakah cukup atau perlu disampaikan sekali lagi? Apakah peserta bosan dan tidak fokus?
Sebagaimana disampaikan oleh Mohamed Sathik dan Sofia G Jonathan diatas, membaca ekspresi wajah sangat penting dalam proses belajar mengajar sehingga bisa dinalisa untuk menentukan langkah berikutnya.
Ketika saya mengajar peserta kursus persiapan ujian CCNA tahun 2005 silam pada salah satu lembaga kursus di Bandung, saya selalu berusaha memperhatikan ekspresi masing-masing peserta ketika menyampaikan materi. Saat itu jumlahnya klo tidak salah ada sekitar 10 orang dalam satu kelas. Proses mengajar tersebut dilakukan selama beberapa bulan (2x pertemuan dalam seminggu). Apabila ada yang ekspresinya terlihat kurang paham, saya akan sengaja menunjuk individu tersebut disaat sesi tanya jawab agar bisa berdiskusi bersama tidak pahamnya dimana.
Atau apabila ada yang kelihatan tertutup akan saya coba dekati secara personal ketika sesi istirahat atau pelajaran berakhir untuk memastikan materi yang disampaikan dipahami dengan baik. Melalui metode tersebut saya bisa memahami karakter masing-masing sehingga kemudian menjadi feedback ketika mempersiapkan materi untuk sesi berikutnya.
Proses diatas cukup sulit. Menyampaikan materi pelajaran sambil meng-observasi raut wajah masing-masing secara berkesinambungan bukan hal mudah. Itu sebabnya apabila ada sekolahan yang meng-eksklusifkan diri dengan hanya menerima sejumlah siswa — apalagi melalui test yang sulit, terus kemudian harganya mahal, bisa kita pahami alasannya.
Ada juga sekolahan yang memanfaatkan asisten dalam kelas. Jadi selain seorang guru utama ada beberapa asisten yang membantu. Mekanisme ini sudah diterapkan pada sekolah-sekolah swasta. Dengan demikian jumlah peserta didik dalam satu kelas bisa lebih banyak karena selain guru utama ada tenaga pengajar lebih untuk membantu siswa. Dikarenakan jumlah pengajar lebih banyak maka bisa dipastikan biaya sekolahnya pun akan cenderung lebih mahal dibandingkan sekolah umum (baca: sekolah negeri).
Intinya, dalam sistem belajar mengajar butuh mekanisme observasi sebagai bahan feedback untuk membantu memastikan keberhasilan proses pendidikan bagi setiap siswa.
Observasi membutuhkan mekanisme input. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, mekanisme input tersebut bisa didapatkan melalui sebuah vision atau penglihatan. Manusia dipenuhi keterbatasan. Fungsi penglihatannya terbatas sehingga mempengaruhi kemampuan observasinya. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, tidak mudah untuk memaintain observasi pada siswa secara berkesinambungan tanpa kenal lelah. Manusia butuh bantuan. Manusia butuh komputer sebagai asisten untuk membuat proses belajar mengajar.
Computer Vision
Bayangkan apabila ada tempat belajar dimana setiap siswa mendapatkan pengalaman yang lebih “personal”. Ibaratnya, satu siswa dapat satu asisten pengajar. “Asisten” pengajar tersebut mengumpulkan data para siswa selama proses belajar mengajar dilaksanakan untuk kemudian dianalisa.
Beberapa industri menawarkan eksklusifitas dengan menawarkan pengalaman servis yang lebih bersifat pribadi. Contohnya, fasilitas kartu platinum seperti platinum American Express yang menawarkan jasa travel pribadi. Apabila ingin bepergian tinggal hubungi satu nomor dan nanti akan dibantu urusin mulai dari tiket pesawat sampai hotel tempat menginap.
Eksklusifitas senada bisa diberikan dalam proses pendidikan.

Teknologi computer vision memungkinkan komputer melakukan analisa kondisi siswa didalam kelas melalui kamera. Teknologi tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang kemudian dikenal sebagai emotional recognition dan behavioral analysis. Teknologi computer vision mengganti tugas mata manusia (guru / teaching assistant) untuk melakukan observasi dan pengumpulan data.
Data yang dikumpulkan bisa beraneka ragam tergantung jenis analisis yang ingin dilakukan. Sebagai contoh seperti pada ilustrasi analisis dibawah ini.

Teknologi computer vision memungkinkan pihak penyelenggara pendidikan mengumpulkan data-data diatas untuk kemudian mengeluarkan hasil analisa (berdasarkan riset) yang dapat dijadikan feedback dari masing-masing siswa.
Feedback seperti apa? Misalnya, setiap kali disampaikan materi Matematika kepada siswa bernama Adam oleh guru yang bernama Budi, Adam selalu di indikasikan menunjukan emosi “Negatif”. Emosi negatif tersebut bisa jadi akibat metode penyampaian Budi sebagai guru kurang tepat bagi Adam. Atau Adam memiliki masalah lain yang menyebabkan dia selalu takut belajar Matematika.
Feedback mengenai emosi “Negatif” ini bisa didapatkan dari implementasi computer vision pada teknologi edukasi berdasarkan hasil riset Effect of facial expressions on student’s comprehension recognition in virtual educational environments.
Berikut ini ringkasan hasil riset dari paper diatas
Effect of facial expressions on student's comprehension recognition in virtual educational environments
It was concluded from the student’s interview and previous studies that students convey positive emotions when they:
- Understand the lecture
- Are satisfied with the lecture
- Are able to grasp the ideas given by the lecturer.
- Want to reflect positive response to the lecture.
Positive emotions are expressed by Eyes opening wide and raising Eyebrows as shown in Figure 5 to express their comprehension on the lecture.
Students convey negative feelings when they:
- Don’t understand the lecture.
- Want the lecturer to repeat once again.
- Try to seek the help of the lecturer.
- Are not able to cope up with the speed of the lecturer.
- Are in confused state.
Negative emotion are expressed by shrinking eyes with lowering eyebrows and wrinkles on forehead, eyebrows raised and eyes enlarged, curling lips to represent their incomprehension on the lecture.
Dari sini kita tentu lebih memahami manfaat teknologi computer vision dalam dunia pendidikan. Setiap kali saya bercerita tentang education technology biasanya reaksi orang-orang adalah “oohhh, moodle”, atau, “online learning ya? bukan nya udah banyak??”.
Implementasi education technology saat ini bisa dibilang pada umumnya masih masuk kategori Industri 3.0. Ketika berbicara era 4.0 maka penggunaan teknologi benar-benar harus mampu merevolusi tata cara tradisi sebelumnya. Teknologi komputer tidak lagi pasif. Teknologi edukasi bukan lagi sekedar memindahkan kelas dari dunia fisik kedunia virtual sehingga bisa diakses dari mana saja melalui internet. Teknologi edukasi pada era 4.0 harus memasukan komponen lain seperti AI dan Data Science sehingga bisa memberikan impact yang lebih besar bagi perkembangan kehidupan manusia.
Dalam hal pendidikan teknologi era 4.0 harus mampu merevolusi proses belajar mengajar manusia sehingga dapat menghasilkan manusia-manusia terpelajar lebih banyak lagi.
Apakah itu artinya teknologi akan menggantikan peran manusia? Saya masuk dalam kelompok yang berfilosofi sentuhan manusia tetap mutlak dibutuhkan. Teknologi hanya bertindak sebagai ‘pembantu’. Dalam contoh kasus diatas, teknologi edukasi yang memanfaatkan computer vision tidak menggantikan peran guru. Namun lebih kepada membantu guru melakukan observasi terhadap peserta didiknya sehingga ketika sang guru selesai menyampaikan materi maka dapat login kedalam dashboard aplikasi untuk mendapatkan feedback seperti apa performa baik dirinya ataupun siswa-siswinya didalam kelas.
Apabila terdapat kekurangan maka sang guru bisa merubah gaya mengajarnya. Atau, apabila diketahui ada anak yang membutuhkan perhatian khusus maka sang guru bisa berdiskusi dengan pihak sekolah — misalnya, dengan meminta guru BP (masih ada gak sih istilah guru BP? :p) untuk melakulan pendekatan kepada siswa yang terindikasi sering tidak fokus untuk menggali siapa tau dia ada masalah dan bisa dibantu oleh pihak sekolah.
Ketika teknologi edukasi mampu men-disrupt sistem pendidikan maka saya yakin ada banyak sekali solusi atas banyak permasalahan bisa diselesaikan dikemudian hari sehingga kita mampu mencetak generasi-generasi yang lebih senang belajar sesuai dengan kapasitas serta bakatnya masing-masing.
Data is The New Oil
Teknologi computer vision saat ini banyak dikiritik karena dianggap melanggar privasi manusia.
Pemerintah selaku regulator memiliki kemampuan untuk melindungi data masyarakat melalui UU, salah satunya dengan mewajibkan perusahaan lokal untuk mengembangkan teknologi seperti computer vision. Dengan demikian pemerintah bisa menjamin data-data tersebut lebih terlindungi karena disimpan dalam wilayah Indonesia dan juga dimiliki oleh perusahaan lokal Indonesia. Teknologi yang digunakan juga asli buatan Indonesia sehingga melepaskan kekuatiran akan adanya backdoor dari negara lain. Perusahaan yang bersankutan pun bisa diatur melalui standarisasi mulai dari audit terhadap algoritma yang digunakan, standarisasi datacenter yang digunakan, audit secara berkala, dsb.
Intinya jangan sampai inovasi teknologi terhambat akibat kekuatiran yang sebenarnya bisa kita hindari sebagai negara mandiri.
Di Indonesia sendiri sampai saat ini sepemahaman saya baru ada dua perusahaan lokal yang membangun teknologi computer vision dari nol secara mandiri: Mahapatih, dan Nodeflux. Mudah-mudahan kedepannya ada lebih banyak lagi.
Dan tentunya mudah-mudahan semakin banyak lagi perusahaan lokal yang bisa berkolaborasi satu sama lain sehingga dapat meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia agar kedepannya pendidikan bisa diakses lebih banyak lagi masyarakat dan juga lebih terjangkau dari sisi harga.
Member discussion